Senin, 28 April 2008

Pengembara

Sudah 13 tahun ini aku mengembara, meninggalkan kampung halaman tercinta. Meninggalkan emak, bapak, kakak, adik-adikku, nenek, bibi, paman, dan banyak kerabat lainnya. Sering sekali bayang wajah mereka menari-nari dalam ingatanku saat aku begitu merindukannya. 13 tahun, bukan waktu yang singkat dalam perjalanan hidup seorang anak manusia.

Kampung halaman...
Yah, aku mempunyai kampung halaman yang indah. Desa yang biasa-biasa saja, namun teramat kucintai. Di sana hidup manusia-manusia dengan sifat yang bermacam-macam. Namun kesemuanya membentuk sebuah komunitas yang unik. Perpaduan yang sempurna. Dan yang terpenting, begitu membekas dalam ingatanku, bahkan sampai orang-orang yang tinggal di dalamnya mulai dipanggil oleh-Nya satu per satu. Mulai dari tetangga jauh, tetangga dekat, sampai kemudian nenekku sendiri yang harus menghadap-Nya. Sungguh aneh. Saat aku jauh dari kampungku, serasa semua penghuninya adalah saudaraku. Padahal dulu, saat aku masih tinggal di dalamnya, aku terlalu cuek dengan tetangga-tetanggaku. Tapi kini tetangga yang paling galak sekalipun aku kangeni. Hahaha...

Di samping sering kangen dengan keluargaku, sesekali aku teringat dengan nostalgia masa kecil. Saat desa kami belum tersentuh listrik. Rasanya tiap malam yang ada hanyalah keceriaan. Main dolanan anak-anak. Petak umpet, benteng-bentengan, kucing-kucingan, dan sederet permainan lainnya yang namanya saja aku sudah lupa. Sering sekali jatah waktu main kami lebih lama dibanding waktu belajar. Tetapi sejauh itu, nilai sekolah kami tidak ada yang mengecewakan. Padahal, di samping jam belajar yang sebentar, kami juga cuma ditemani lampu teplok atau petromaks. Ah, kenangan yang barangkali akan membuat anak-anakku kelak melongo kalau mereka aku ceritakan (tapi nanti, kalau aku udh punya anak. Skrg mah, nikah aja belon).

Mengembara. Kata-kata ini pertamakali aku dengar dari sebuah sandiwara radio, Brama Kumbara. Ternyata pengembaraanku ini jauh berbeda dengan pengembaraan si Bentar, anaknya Brama. Aku nggak setegar dia. Aku terlalu cengeng. Bahkan saat masih baru-baru meninggalkan rumah, sering aku menangis saat kangen dengan emak dan adik-adikku. Juga saat membayangkan bapak yang sudah beranjak tua. Rasanya ingin sekali menjadi Superman bagi mereka.

Harus aku akui, merantau membuatku makin sayang dengan keluarga. Tetapi andai bisa, aku lebih memilih untuk dekat dengan keluarga. Melihat pertumbuhan keponakan dari hari ke hari, menyediakan kuping saat adik-adikku berkeluh kesah, dan pengen bgt mijitin kaki emak dan bapak meskipun mereka pasti menolaknya. (aku jadi nyesel bgt. dulu kalau aku disuruh mijitin bapak, aku pasti melakukannya dengan dongkol). Yah, andai bisa, pasti aku lakuin semuanya. Tetapi sampai saat ini pun aku masih harus hidup di rantau karen tuntutan pekerjaanku. Padahal, aku pengen bgt cepat-cepat kerja di daerahku sendiri. Kapan ya???

Tidak ada komentar: