Senin, 28 April 2008

Sendiri

Setahun lalu, di tempat ini kita begitu ceria. Tak perlu kata-kata utk menggambarkan kebahagiaan kita, karena senyummu telah cukup utk diartikan. Lalu kita melebur dalam satu rasa. Diam tak bersuara, karena kebahgiaan tak perlu diucapkan.

Setahun telah lewat. Kebahagiaan itu kini tak berbekas. Karena engkau sendiri yang memilih untuk mencampakannya.

Sendiri, biarlah kurasakan walau begitu menyakitkan. Karena kesepian selalu menarik untuk dinikmati. Walau dendam sesekali menusuk dada

Manusia Abu-Abu

Teringat lagu Agnes Monica, putih bukan dirimu. hitam juga bukan dirimu. So, abu-abu dong? Yah, begitulah. Aku manusia abu-abu. (Jangan-jangan memang Agnes nyanyi tuh lagu buat aku).

Makin dewasa, aku jadi makin tahu bahwa begitu beragam warna yang ada di muka bumi. Dulu aku tahunya cuma merah, biru, hijau, kuning dan tentu saja hitam putih. Namun seiring bertambahnya umur, makin bertambah pula pengetahuanku tentang bermacam warna. Ternyata di antara hijau dan biru (yang dulu menurutku hampir sama), begitu banyak varian warna yang berjejer. Bahkan untuk satu warna biru, orang harus membedakan biru langit, biru muda, biru tua, biru laut, dan sebagainya. So aku makin tahu saja bahwa di antara hitam dan putih terdapat warna-warna yang samar. Dan dengan kesamaran itu, orang menjadi susah untuk menentukan apakah sebuah warna tertentu lebih cocok disebut hitam atau putih. Dan di situlah aku memposisikan diri. Yah, aku manusia abu-abu.

Bagiku, arti manusia abu-abu adalah bahwa aku bisa disebut orang baik, tapi dapat pula disebut orang jahat. Orang terkadang melihatku sebagai pribadi yang sabar, namun seringkali pula sifat pemarahku muncul. Aku bisa rajin, tetapi bisa juga menjadi pemalas. Dan saat ini, aku bisa dikatakan hidup, namun tidak salah pula dikatakan telah mati. Aku sendiri tidak tahu persis kondisi mana yang paling tepat untuk menggambarkan aku yang sesungguhnya. Maka aku pilih abu-abu sebagai warna favoritku.

Aku manusia abu-abu. Yang tidak punya konsistensi dalam segala hal. Saat ini, aku memproklamirkan diri sebagai manusia abu-abu. Entah, mungkin dalam hitungan detik aku ingin berubah warna menjadi hijau, atau kuning, atau hitam, entahlah. Ah, memang aku manusia abu-abu.

Pengembara

Sudah 13 tahun ini aku mengembara, meninggalkan kampung halaman tercinta. Meninggalkan emak, bapak, kakak, adik-adikku, nenek, bibi, paman, dan banyak kerabat lainnya. Sering sekali bayang wajah mereka menari-nari dalam ingatanku saat aku begitu merindukannya. 13 tahun, bukan waktu yang singkat dalam perjalanan hidup seorang anak manusia.

Kampung halaman...
Yah, aku mempunyai kampung halaman yang indah. Desa yang biasa-biasa saja, namun teramat kucintai. Di sana hidup manusia-manusia dengan sifat yang bermacam-macam. Namun kesemuanya membentuk sebuah komunitas yang unik. Perpaduan yang sempurna. Dan yang terpenting, begitu membekas dalam ingatanku, bahkan sampai orang-orang yang tinggal di dalamnya mulai dipanggil oleh-Nya satu per satu. Mulai dari tetangga jauh, tetangga dekat, sampai kemudian nenekku sendiri yang harus menghadap-Nya. Sungguh aneh. Saat aku jauh dari kampungku, serasa semua penghuninya adalah saudaraku. Padahal dulu, saat aku masih tinggal di dalamnya, aku terlalu cuek dengan tetangga-tetanggaku. Tapi kini tetangga yang paling galak sekalipun aku kangeni. Hahaha...

Di samping sering kangen dengan keluargaku, sesekali aku teringat dengan nostalgia masa kecil. Saat desa kami belum tersentuh listrik. Rasanya tiap malam yang ada hanyalah keceriaan. Main dolanan anak-anak. Petak umpet, benteng-bentengan, kucing-kucingan, dan sederet permainan lainnya yang namanya saja aku sudah lupa. Sering sekali jatah waktu main kami lebih lama dibanding waktu belajar. Tetapi sejauh itu, nilai sekolah kami tidak ada yang mengecewakan. Padahal, di samping jam belajar yang sebentar, kami juga cuma ditemani lampu teplok atau petromaks. Ah, kenangan yang barangkali akan membuat anak-anakku kelak melongo kalau mereka aku ceritakan (tapi nanti, kalau aku udh punya anak. Skrg mah, nikah aja belon).

Mengembara. Kata-kata ini pertamakali aku dengar dari sebuah sandiwara radio, Brama Kumbara. Ternyata pengembaraanku ini jauh berbeda dengan pengembaraan si Bentar, anaknya Brama. Aku nggak setegar dia. Aku terlalu cengeng. Bahkan saat masih baru-baru meninggalkan rumah, sering aku menangis saat kangen dengan emak dan adik-adikku. Juga saat membayangkan bapak yang sudah beranjak tua. Rasanya ingin sekali menjadi Superman bagi mereka.

Harus aku akui, merantau membuatku makin sayang dengan keluarga. Tetapi andai bisa, aku lebih memilih untuk dekat dengan keluarga. Melihat pertumbuhan keponakan dari hari ke hari, menyediakan kuping saat adik-adikku berkeluh kesah, dan pengen bgt mijitin kaki emak dan bapak meskipun mereka pasti menolaknya. (aku jadi nyesel bgt. dulu kalau aku disuruh mijitin bapak, aku pasti melakukannya dengan dongkol). Yah, andai bisa, pasti aku lakuin semuanya. Tetapi sampai saat ini pun aku masih harus hidup di rantau karen tuntutan pekerjaanku. Padahal, aku pengen bgt cepat-cepat kerja di daerahku sendiri. Kapan ya???

Suami-Suami Takut Istri

Awalanya iseng aja mindah-mindahin channel TV. Secara nggak ada kegiatan. Maklum, habis sholat maghrib. Mo makan belum laper, nungguin isya juga masih agak lama. Jadilah mencet-mencet remote control TV. Pas kecantol di Trans TV, kok ada suar ketawanya. Kayaknya lucu nih. Aku tunggu agak lama. Lima menit, wah kayaknya lumayan kocak juga. Dari satu kali nonton, sekarang malah jadi ketagihan sama tayangan yang atu ini.

Dalam dunia nyata, memang banyak sekali aku temuin suami-suami yang takut sama istrinya. Entah dengan alasan sayang, takut rumah tangga ribut, atau dengan berbagai alasan lainnya, suami-suami banyak yang ngalah sama istri. Kalau sekedar ngalah, baguslah. Tetapi nyatanya, seperti yang ada dalam tayangan kocak tadi, banyak sekali suami yang benar-benar nggak berdaya di depan stri. Sampai-sampai ada anekdot begini:
Di surga nanti, ada 2 loket bagi para suami untuk masuk surga. Loket pertama adalah loket bagi suami yang takut sama istri. Di loket ini, berbaris jutaan orang sebelum masuk ke surga. Dan loket 2 adalah loket bagi suami yang tidak takut istri. Loket ini masih tutup. Dan begitu pintu loket mulai dibuka, nampaklah satu orang yang berdiri di sana. Ya, hanya satu orang. Melihat hal itu, para suami yang ngantri di loket 1 tertegun dan langsung ngasih applaus kepada suami di loket 2. Setelah semua masuk sorga, pengantri loket 1 berbondong-bondong mendatangi suami yang masuk sorga lewat loket 2. "Wah, anda hebat banget. Dari jutaan penduduk bumi, hanya andalah yang masuk sorga lewat loket 2. Anda memang hebat. Nggak takut sama istri. Memang seharusnya begitulah." Ada lagi yang nyeletuk "Gmn caranya sih biar nggak takut sama istri?"
Begitulah, begitu banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya. Lalu tanpa rasa bersalah, suami dari loket 2 tadi langsung ngejawab " Siapa yang berani sama istri. Orang saya masuk ke loket 2 juga karena disuruh istri sambil diancam".

Jadi buat para suami yang takut istri, jangan kuatir. Begitu banyak teman-temanmu di surga nanti. Hahaha....

Kamis, 08 November 2007

Hayo buruan modern

Pengen bgt nih buru-buru modern. Tp pastinya pgn kerja di KPP Modern di daerah sendiri, Tegal. Atatu setidaknya yg deket sama Tegal. Kaya Semarang, Pekalongan, Cirebon, Bandung, atau Jakarta jg gak papa lah. Hehehe.....

AKu sendiri pgn pulang kampung. Udah lama ngerantau. 5 th di Lampung, lulus D IV balik ke Lampung lagi. Jadi total udh 7 th jauh dari keluarga. Patut disyukuri sih, karena nggak dapet tempat yg lebih jauh lagi. Cuma ya itu. Sebagai org Jawa, rasanya pengin bgt kerja di daerah sendiri. Kalo bisa sih mewujudkan cita-cita luhur, membangun Tegal melalui melalui pajak. Tentunya dimulai dari aku dong (hehehe.... jgn dibilang sombong ya???).

Akhirnya hanya kepada Allah aku sampaikan keinginanku ini. Sebab harapan buat mutasi ke KPP Modern di Jawa kayaknya makin nggak jelas aja (padahal aku udh ikut diklat SAM, glmbg II). Tetapi harapan selalu aku tanam, semoga pindah ke Jawa dalam waktu dekat bisa kesampaian. Amin